Kamis, 18 Agustus 2011

PSIKOLOGI AGAMA DAN REMAJA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapam social tanpa terus dibimbing,diawasi didororng dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah "Perkembangan Moral dan Keagamaan Remaja" dapat dirumuskan sebagai berikut:
1). Bagaimana perkembangan keagamaan remaja?
2). Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan agama remaja?
C.    Prosedur Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yaitu langkah-langkah yang ditempuh dengan pendekatan Metode Library Research (kepustakaan) yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
D.    Sistematika pembahasan
Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu pertama pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, proses pemecahan masalah dan sistematika pembahasan itu sendiri.



BAB II
PSIKOLOGI AGAMA PADA REMAJA

A.    Agama dan Psikologi Agama
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban. Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia. Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai keimanan dan peribadatan. [1]
Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.
Menurut Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi.[2]
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidakadaan Tuhan, karena tidak ada teknik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiris tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan, tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan.[3]

B.     Psikologi Agama Pada Remaja
Konsep ”remaja” tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku. Contoh data : Hukum Perdata Usia  dewasa adalah usia  21 tahun atau lebih (atau kurang tapi sudah menikah)  Usia kurang 21  masih butuh wali untuk melakukan tindakan hukum perdata (misalnya Mendirikan perusahaan atau membuat perjanjian di hadapan pejabat hukum).
Hukum Pidana, dewasa adalah usia  18 tahun atau lebih (atau kurang  tapi sudah menikah).Usia kurang dari 18 tahun (belum menikah)/anak-anak masih menjadi tanggung jawab orang tua, contoh: jika melakukan pencurian tidak disebut tindakan kejahatan (kriminal) tapi disebut ”kenakalan”, jika tindakan tersebut patut dijatuhi hukuman negara dan orang tuanya ternyata tidak mampu mendidik anak itu lebih lanjut maka menjadi tanggungjawab negara dan dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan khusus anak-anak di bawah Departemen Kehakiman.[4]
Remaja adalah cikal bakal calon pemimpin Negara, membentuk psikologi yang benar pada remaja telah di atur di dalam Islam sebagai agama yang satu-satunya Haq. Dalam Al-Qur’an dijelaskan tahapan yang dilalui manusia. Sesungguhnya manusia melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan), Yang dimaksud dengan tingkat demi tingkat ialah dari setetes air mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa. dari hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali.
Psikologi agama pada remaja adalah tanggung jawab bersama antara, remaja itu sendiri, orang tua, lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Apabila baik keluarga, masyarakat dan lingkungannya, maka baiklah si remaja tadi secara psikologinya. Dan seperti ayat diatas tadi maka hendaknya pembentukan psikologi mestinya sudah dibina dari masa balita.

C.    Perkembangan Keagamaan Remaja
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia.
Agama, seperti yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan sosial, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya. Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis/berdasarkan pemahaman dan penelitian.[5]
 Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder yang ditulis kembali Santrock, menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama.[6]
James Fowler mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith/berusaha bertanggung jawab adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.[7]
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1.      Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a)      Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b)      Pandangan dalam hal ketuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c)      Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2). Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
a)      Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b)      Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
c)      Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup di dunia ini.
Menurut Wagner banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.[8]











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut Zakiah Daradjat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban
Remaja adalah cikal bakal calon pemimpin Negara, membentuk psikologi yang benar pada remaja telah di atur di dalam Islam sebagai agama yang satu-satunya Haq.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1.      Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2.      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3.      Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.





DAFTAR PUSTAKA

-      Aliah B. Purwakanta Hasan, (2003), Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
-      Cahyadi Ani, (2006), Psikologi Perkembangan, Ciputat : Press Group.
-      Jalaluddin Rakhmat, (2004), Psikologi Agama sebuah Pengantar, Bandung: Mizan.
-      John W. Santrock, (1996), Adolescence (Perkembangan Remaja), The University of at Dallas: Times Mirror higher Education.
-      Nico Syukur Dister, (2002), Psikologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
-      Oemar Hamalik, (1995), Psikologi Remaja (dimensi-dimensi perkembangan), Bandung: Maju Mundur.


[1]Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 22.
[2]Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 12-13.
[3]Ibid., hal. 14-15.
[4]Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 47.
[5]Cahyadi, Ani, Psikologi Perkembangan, (Ciputat : Press Group, ,2006), hal. 24-25.
[6]John W. Santrock, Adolescence (Perkembangan Remaja), (The University of at Dallas: Times Mirror higher Education, 1996), hal. 131.
[7]Oemar Hamalik, Psikologi Remaja (dimensi-dimensi perkembangan), (Bandung: Maju Mundur, 1995), hal. 21.
[8]Jalaluddin Rakhmat, op.cit., hal. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar