Kamis, 18 Agustus 2011

PEMIKIRAN AL-FARABI


PEMIKIRAN AL-FARABI
TENTANG KENABIAN DAN POLITIK

A.    Biografi Al-Farabi
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی  atau Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi), juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir adalah seorang filsuf Islam yang menjadi salah satu ilmuwan dan filsuf terbaik di zamannya. Ia berasal dari Farab, Kazakhstan. Sampai umur 50, ia tetap tinggal di Kazakhstan. Tetapi kemudian ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Lalu ia pergi ke Alepo (Halib), Suriah untuk mengabdi kepada sang raja di sana.[1]
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al_farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Muta'did (892-902M), Al-farabi dan Yhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi (902-908M) dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932M) Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama dealapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.[2]
Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.[3]

B.     Karya-Karya Al-Farabi
Karya-karya nyata dari Al-Farabiadalah :
1.      Al Jami’u Baina Ra’ya Al Hakimain Al falatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan atau penggabungan pandapat antara Plato dan Aristoteles).
2.      Tahsilu as Sa’adah ( mencari kebahagian).
3.      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan).
4.      Fususu Al Taram (hakekat kebenaran).
5.      Arroo’u Ahli Al Madinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan).
6.      As Syiyasyah (ilmu politik).
7.      Fi Ma’ani Al Aqli.
8.      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu).
9.      At Tangibu ala As Sa’adah.
10.  Isabetu Al Mufaraqaat.[4]

C.    Pemikiran Al-Farab tentang Kenabian
1.      Teori mimpi menurut Aristoteles dan pengaruhnya di dalam teori kenabian al-Farabi
Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Meski mimpi termasuk pengalaman pribadi, namun merupakan fenomena universal yang memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Baik manusia dalam bentuk kecil (anak-anak) atau dewasa, pejabat atau rakyat jelata, semuanya pernah mengalami mimpi. Karena mimpi tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka ia mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan ini. Ada pengaruh positif,namun juga tidak sedikit pengaruh negatifnya. Sepanjang catatan sejarah kebudayaan manusia, mimpi dan penafsirannya telah mengilhami orang-orang suci dan para Nabi, penyair serta raja-raja, maupun para filsuf dan psikolog.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi.[5]
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu, pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi.[6] tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa depan.
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan dari atas.[7]
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan , karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.[8]
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan, mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk.  Imajinasi mempunyai  kemampuan besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda kecuali  karena perbedaan faktor-faktor  yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan kita dengan air itu basah.[9]
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.[10]
2.      Manfaat teori ini terhadap Nabi dan Filosof
Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian muncullah al-Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampi tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak pada waktu membicarakan negeri utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-aql al-fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.[11]
Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu : jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Hakikat kenabian dan hakikat filosofis, sama-sama sebagai satu dari sekian konklusi wahyu dan sebagai satu dari sekian pengaruh pancaran ilahi kepada manusia melalui jalur imajinasi atau analisa. Hanya saja al-Farabi membedakan antara seorang nabi dengan seorang filosof dalam buku Aro’ ahl al Madinah al-Fadlilah dilihat dari segi saran-sarana yang dipergunakan untuk mencapai pengetahuan, maka di tempat lain ia menetapkan bahwa nabi – seperti filosof – dimungkinkan mikraj kea lam-alam atas dengan perantara akal. Karena ia memiliki potensi fikiran yang suci yang dimungkinkan untuk naik ke alam cahaya dimana ia menerima perintah-perintah Tuhan, sebab nabi mencapai wahyu tidak hanya melalui jalur imajinasi semata, tapi juga dengan potensi akal yang besar yang ada pada dirinya.[12]
3.      Kenabian adalah Fitri bukan Muktasabah
Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang di anugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan di beri kemampuan untuk menyatakan kehendaknya. Adalah sangat perlu bagi filosof-folosof muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan firman Tuhan. Hal ini telah di upayakan oleh al Farabi. Teorinya tentang kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dan filsafat.
Jika nabi mampu untuk berhubungan dengan akal faal melalui perantaraan penalaran dan analisa, maka kenabian menjadi bentuk pengetahuan yang juga bisa dicapai oleh manusia. Karena dengan pengaruh akal faal kita mengkaji, berfikir dan mempersepsi realitas-realitas yang umum. Tetapi dengan graduasi pengaruh akal faal di dalam diri kita, maka tingkatan kita berbeda-beda yang satu melebihi yang lain.[13]
Kenabian bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian), semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur psikologis-spiritual.
4.      Pertentangan teori ini dengan arti lahir teks-teks al-Qur’an
Al Farabi melakukan penafsiran yang berbeda, ia mengakui keabsahan keajaiban, karena hal itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat meskipun keajaiban bersifat alami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber hukum ini terdapat pada lingkungan dan intelegensi yang mengatur dunia bumi; dan ketika kita berhubungan dengan dunia itu, maka kejadian-kejadian yang tak biasa akan terjadi pada kebanyakan orang.
Kontradiksi itu ialah pertentangan bahwa penfsiran wahyu dan ilham secara psikologis bertentangan dengan banyak nash yang tetap. Pernah terjadi bahwa malaikat Jibril turun kepada Rasulallah saw untuk sebagian orang arab, atau beliau mendengar suara laksana gemercing suara bel, disamping banyak hadist lain yang berhubungan dengan wahyu dan car-cara datangnya. Kami tidak beranggapan bahwa hadits tersebut tidak diketahui oleh al-Farabi. Namun al-Farabi sibuk bergelut dengan masalah lain, al-Farabi berusaha secara primer dan secara esensial untuk menetapkan bahwa wahyu adalah perkara yang mungkin dan tidak keluar dari prinsip-prinsip ilmiah yang diakui. Sehingga hubungan ruhani dengan jasmani yang dijauhi oleh sho’ibah dan golongan lain bisa diterima.
Al-Farabi tidak melihat suatu keharusan untuk membela prinsip kenabian dari prinsip itu sendiri, dengan cara menjelaskan terpisah dari manapun atau tempat tertentu. Tidak sulit al-Farabi untuk mengeksplanasikan teks-teks agama yang bertentangan dengan pandangan-pandangannya. Karena al-Farabi telah melakukan eksplanasi tidak hanya sekali, sehingga ia bisa menerima adanya lauh dan qolam,hal itu ia tafsirkan dalam bentuk interpretasi yang sesuai dengan teori-teori astronomi dan metefisika yang dipegangnya.[14]

D.    Pemikiran Al-Farabi tentang Politik
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[15] Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.[16] Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.[17]
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. [18]
Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.[19]
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
-          Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
-          Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
-          Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[20]
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna didalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi, namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[21]




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Musthofa, (2007), Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Eduarny Tarmiji, (2008),  Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, Thesis Magister, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Fareed, 2009, Memaknai Kenabian Bersama Al Farabi, http://dunia.pelajar-islam.or.id diakses tanggal 31 Maret 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi, diakses tanggal 1 April 2011.
H.A. Mustofa,   (2007), Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Ibrahim Madkour, (1988),  Filsafat Islam Metode dan Penerapan, Jakarta: Rajawali Press.
Majid Fahkry ,Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001
M Rasyidi,  (1984), Apa itu Syiah?, Jakarta: Pelita.
Muhammad Nur, (2004),  Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
Muhammad ‘Utsman Najati, (2002),  Jiwa Dalam Pandangan Parra Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah.
M. M. Syarif,  (1996), Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.



[1]Majid Fahkry ,Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 218.
[3]Ibid.
[4]Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 128.
[5]Muhammad Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[6]Muhammad ‘Utsman Najati,  Jiwa Dalam Pandangan Parra Filosof Muslim, (Bandung : Pustaka Hidayah,  2002),  hal. 80
[7]M. M. Syarif,  Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 77.
[8]H.A. Mustofa,   Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),  hal. 137.
[9]Ibid., hal. 142.
[10]MM Syarif, Op.Cit., hal. 75.
[12]Ibrahim Madkour,  Filsafat Islam Metode dan Penerapan, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hal. 131.
[13]Ibid., hal. 135.
[14]Ibid., hal. 135-136.
[15]Eduarny Tarmiji, Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, Thesis Magister, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2008), hal. 13.
[16]Ibid.
[17]Ibid., hal. 15.
[18].M Rasyidi,  Apa itu Syiah? (Jakarta: Pelita, 1984), hal.  6-7.
[19]Eduarny Tarmiji, op.cit., hal. 18.
[20]Ibid., hal. 19.
[21]http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi, diakses tanggal 1 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar