Rabu, 17 Agustus 2011

ONANI, MASTURBASI, HOMOSEKSUAL DAN LESBIAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Onani yang dalam bahasa Arab berarti Istimna adalah suatu perbuatan mengeluarkan sperma dengan tangan sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan seks secara bersendirian, tanpa pasangan. Onani dilakukan dengan mengocok alat kelamin dengan tangan sendiri demi kepuasan seorang laki-laki. Sedangkan masturbasi atau di dalam bahasa Inggris masturbase diartikan sama dengan mengeluarkan air mani dengan demikian, pada dasarnya antara onani dan masturbasi merupakan kegiatan yang sama yaitu kegiatan mengeluarkan mani dengan tujuan kepuasan dengan menggunakan tangan tanpa bantuan orang lain.
Homoseksual atau dalam bahasa Arab liwath adalah hubungan antara laki-laki dan laki, hubungan bersenggama (persetubuhan) yang dilakukan melalui anus atau dubur. Perbuatan ini merupakan sebuah perbuatan yang menjjikkan dan keji sehingga Islam melarang homoseksual dilaksanakan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana kedudukan hukum Onani dan Masturbasi Islam?
2.      Bagaimana kedudukan hukum Homoseksual dan Lesbian dalam Islam?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
3.      Bagaimana kedudukan hukum Onani dan Masturbasi Islam.
  1. Bagaimana kedudukan hukum Homoseksual dan Lesbian dalam Islam.
  2. Bagaimana kedudukan hukum anak zina dalam Islam.



PEMBAHASAN
ONANI, MASTURBASI, HOMOSEKSUAL DAN LESBIAN

A.    Pengertian Onani dan Masturbasi
Onani yang dalam bahasa Arab berarti Istimna adalah suatu perbuatan mengeluarkan sperma dengan tangan sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan seks secara bersendirian, tanpa pasangan.[1]
Onani dilakukan dengan mengocok alat kelamin dengan tangan sendiri demi kepuasan seorang laki-laki.
Sedangkan masturbasi atau di dalam bahasa Inggris masturbase diartikan sama dengan mengeluarkan air mani dengan demikian, pada dasarnya antara onani dan masturbasi merupakan kegiatan yang sama yaitu kegiatan mengeluarkan mani dengan tujuan kepuasan dengan menggunakan tangan tanpa bantuan orang lain.
Sedangkan yang membedakan antara masturbasi dan onani dalam penggunaan sehari-hari adalah onani dipakai untuk mewakili pihak laki-laki dan masturbasi untuk wanita.

B.     Hukum Onani dan Masturbasi
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam permasalahan onani:
1.      Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7).[2]
2.      Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
3.      Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
4.      Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa di dalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama.  Sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya:
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)
5.      Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.
6.      Di antara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki.[3]
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk ke dalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
Dengan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa akan menjadi hal yang lebih baik jika seseorang menghindari perbuatan onani tersebut karena lebih banyak udharatnya dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Dengan demikian dapat disimpulkan onani merupakan suatu hal yang tidak beretika dan berdosa bagi yang melakukannya.
Adapun hukum yang membolehkan onani bagi remaja yang belum menikah, dapat dilihat dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa sperma atau mani adalah benda atau barang lebih yang ada pada tubuh yang mana boleh dikeluarkan sebagaimana halnya memotong dan menghilangkan daging lebih dari tubuh. Dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, kondisi ini diperketat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama-ulama Hanafiah dan fuqaha hanbali, yaitu: Takut melakukan zina, Tidak mampu untuk kawin (nikah), dan tidaklah menjadi kebiasaan serta adat.[4]
Kita dapat mengambil pendapat Imam Ahmad ketika syahwat sedang bergejolak dan dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam perbuatan zina, seperti seorang pemuda yang sedang menuntut ilmu atau bekerja di negeri asing yang jauh dari tanah airnya, sedangkan hal-hal yang dapat merangsang syahwat banyak terdapat di depannya, dan dia khawatir akan berbuat zina. Maka tidaklah terlarang dia melakukan onani ini untuk memadamkan gejolah syahwatnya, dengan catatan tidak berlebih-lebihan dan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.
Sikap yang lebih utama ialah mengikuti petunjuk Rasulullah saw terhadap pemuda Muslim yang belum mampu menikah agar banyak berpuasa. Karena puasa dapat mendidik kehendaknya mengajari kesabaran, menguatkan mental taqwa dan merasa diawasi oleh Allah. Beliau bersabda: “Wahai segenap kaum muda! Barangsiapa di antara kalian sudah mempunyai kemampuan maka hendaklah dia menikah, karena menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia perpuasa, karena puasa merupakan perisai baginya. (HR. Bukhari Muslim).
Sedangkan menurut Muhammad Shaleh al Munjid, seorang ulama di Saudi Arabia, beberapa solusi bagi seseorang yang sudah terbiasa beronani agar dapat terhenti dari kebiasaan tersebut diantaranya:
1.      Hendaklah faktor yang mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan onani adalah untuk menjalankan perintah Allah swt dan menghindari murka-Nya.
2.      Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah sebagai pelaksanaan dari wasiat Rasulullah saw kepada para pemuda dalam permasalahan ini.
3.      Mengarahkan fikiran, bisikan dan menyibukan dirinya dengan perkara-perkara yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi dunia maupun akheratnya. Karena terus menerus menghayal akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu dan pada akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk dilepaskan.
4.      Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang membawa fitnah apakah itu foto dari orang yang hidup atau sekedar gambar dengan matanya secara langsung. Karena hal itu akan mendorongnya kepada perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah swt:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya…” (QS. An Nuur : 30)
Juga sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang selanjutnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan didalam shahihul jami’)
5.      Menyibukkan dirinya dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.
6.      Mengambil cara-cara penyembuhan Nabi saw berupa puasa, karena ia dapat menekan gejolak syahwat dan seksualnya.
7.      Apabila seseorang telah jatuh kedalam perbuatan maksiat ini maka segeralah bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat dengan tidak berputus asa karena putus asa adalah termasuk kedalam dosa besar.[5]

C.    Pengertian Homoseksual dan Lesbian
Homoseksual atau dalam bahasa Arab liwath adalah hubungan antara laki-laki dan laki, hubungan bersenggama (persetubuhan) yang dilakukan melalui anus atau dubur. Perbuatan ini merupakan sebuah perbuatan yang menjjikkan dan keji sehingga Islam melarang homoseksual dilaksanakan.[6]
Pelarangan homoseksual ini bukan hanya terjadi pada saat sekarang saja karena kegiatan ini sudah pernah ada di muka bumi ini ketika pada masa Nabi Luth AS, dimana kaum Nabi Luth pada akhirnya diazab oleh Allah dengan membalikkan bumi serta menghujani dengan batu yang menyala kepada mereka yang melakukan homoseksual.
Di antara penyebab terjadinya homoseksual adalah unsur tidak pernahnya seorang lelaki meperhatikan lawan jenisnya, sehingga mengakibatkan mereka tidak mampu melaksanakan hal-hal yang bernilai seksual kepada lawan jenisnya dan dilampiaskan kepada sesama laki-laki.
Sedangkan lesbian adalah hubungan senggama antara perempuan dengan perempuan. Lesbian hukumnya haram sebagaimana dengan homoseksual karena perbedaan dari keduanya hanya terdapat pada pelakunya yaitu homoseksual dilakukan pada laki-laki dan lesbian dilakukan pada wanita.
Perbuatan kaum homo, baik seks antar sesame pria (homoseksual), maupun seks antar sesama wanita (lesbian) merupakan kejahatan (jarimah/jinayah, bhs. Arab) yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun menurut hokum pidana di Indonesia (vide pasal 292 KUHP).
Menurut hukum fiqh jinayah (hukum pidana Islam), homoseksual (liwath) termasuk dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan bertentangan pula dengan sunnatulloh (God’s Law/ Natur Of law) dan fitrah manusia(Human nature) sebab Allah SWT menjadikan manusia terdiri dari pria dan wanita adalah untuk berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk memperoleh ketenangan dan kasih saying, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 72:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Artinya :”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"
Dan firman Alloh dalam Surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (30:21)
Artinya:”dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Menurut Muhammad Rashfi di dalam kitabnya Al-Islam Wa al-Thib sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq, bahwa Islam melarang keras  homosex, karena mempunyai dampak yang negative terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Tidak tertarik kepada wanita, tetapi justeru tertarik kepada pria sama kelaminnya. Akibatnya kalau si homo itu kawin,maka istrinya menjadi korban (merana), karena suaminya bias tidak mampu menjalankan tugas sebagai suami, dan si istri hidup tanpa ketenangan dan kasih saying, serta ia tidak mendapatkan keturunan, sekalipun ia subur.
2.      Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesame kelamin, tidak stabil jiwanya, dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo. Misalnya ia bergaya sesama seperti wanita dalam berpakaian, berhias, dan bertingkah laku.
3.      Gangguan syaraf otak, yang akibatnya bias melemahkan daya pikiran dan semangat/ kemauannya.
4.      Penyakit AIDS, yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya ketahanan tubuhnya. Penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak sekali di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan survei di Amerika Serikat pada Tahun 1985 terhadap 12.000 penderita AIDS, ternyata 73 % akibat hubungan free sex, terutama homosex, 17% karena pecandu narkotik atau sejenisnya, dan 2,5% akibat transfusi darah.[7]
Para Ahlu hukum fiqh sekalipun telah sepakat mengharamkan homosex, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumannya.
Pendapat pertama antara lain Imam Syafi’I,pasangan homosex dihukum mati, berdasarkan hadits Nabi, riwayat Khomsah (lima Ahli Hadits Kecuali Al-Nasai)dari Ibnu Abbas:
مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلْ عَمَلَ قَوْمَ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْاالْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ
Artinya:”Barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homosex seperti praktek kaum luth, maka bunuhlah sipelaku dan yang diperlakukan (pasangannya).
Menurut Al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap pasangan homosex.
Pendapat kedua, antara lain Al-Auzai, Abu Yusuf dan lain-lain, hukumnya disamakan dengan hukuiman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam (stoning to death) untuk pelaku yang sudah kawin, berdasarkan Hadits Nabi
اِذَا أَتَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ. (الحديث)
Artinya: “apabila seorang pria melakukan hubungan sex dengan pria lain, maka kedua-duanya adalah berbuat zina”.
Pendapat kedua ini sebenarnya memakai qias didalam menetapkan hukumannya.
Pendapat ketiga, antara lain Abu Hanifah, pelaku homosex dihukum ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringanya hukuman tazir diserahkan kepada pengadilan (Hakim). Hukuman Ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar  hukumannya oleh nas Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut Al-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena berdasarkan nas Shahih (Hadits) yang jelas maknanya; sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena memakai dalil qias, padahal ada nash nya, dan sebab hadits yang dipakainya lemah. Demikianpula pendapat ketiga, juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman ta’zir.[8]










KESIMPULAN

Dapat mengambil pendapat Imam Ahmad ketika syahwat sedang bergejolak dan dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam perbuatan zina, seperti seorang pemuda yang sedang menuntut ilmu atau bekerja di negeri asing yang jauh dari tanah airnya, sedangkan hal-hal yang dapat merangsang syahwat banyak terdapat di depannya, dan dia khawatir akan berbuat zina. Maka tidaklah terlarang dia melakukan onani ini untuk memadamkan gejolah syahwatnya, dengan catatan tidak berlebih-lebihan dan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.
Homoseksual atau dalam bahasa Arab liwath adalah hubungan antara laki-laki dan laki, hubungan bersenggama (persetubuhan) yang dilakukan melalui anus atau dubur. Perbuatan ini merupakan sebuah perbuatan yang menjjikkan dan keji sehingga Islam melarang homoseksual dilaksanakan. Pelarangan homoseksual ini bukan hanya terjadi pada saat sekarang saja karena kegiatan ini sudah pernah ada di muka bumi ini ketika pada masa Nabi Luth AS, dimana kaum Nabi Luth pada akhirnya diazab oleh Allah dengan membalikkan bumi serta menghujani dengan batu yang menyala kepada mereka yang melakukan homoseksual.















DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, (2007), Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, Jakarta: Sygma.
Desy Anwar, (2003), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amelia.
H.Masjfuk Zuhdi, (1994), Masail Fiqhiyah, Malang: Pustaka Ilmu.
Muslichudin, (2002), 100 Dosa-Dosa Besar, Surabaya: PT. Pustaka Agung Harapan.
Sayyid Sabiq, (2004), Fiqih Sunnah, Bandung: al-Ma’arif.
Syekh Yusuf al-Qardawi, (2000), Kitab Halal dan Haram dalam Islam, Jakarta: Penerbit Robbani Press.


 


[1]Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amelia, 2003), hall. 296.
[2]Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Sygma, 2007), ha;. 315.
[3]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: al-Ma’arif, 2004), hal. 342-346.
[4]Syekh Yusuf al-Qardawi, Kitab Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Robbani Press, 2000), hal. 321-322.
[6]Muslichudin, 100 Dosa-Dosa Besar, (Surabaya: PT. Pustaka Agung Harapan, 2002), hal. 85.
[7]H.Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,( Malang: Pustaka Ilmu, 1994), hal. 231-234.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar